MAKALAH
DELIK ADAT
Di susun oleh :
Diana Setiawati ( 20120610190 )
Putri Maharani ( 20120610190)
Abidin A Julianto Ecla Kurniawan ( 20120610190)
Agung ( 20120610190)
Aviara Sumarsono ( 20120610190)
Ahmad Bimo Murti ( 20120610190)
UNIVERSITAS MUHAMADIYAH YOGYAKARTA
TAHUN AJARAN 2012 / 2013
PENDAHULUAN
Negara Indonesia adalah Negara kepulauan yang
terletak pada garis khatulistiwa, di antara lautan teduh dan samudra Indonesia.penduduk
yang berdiam di Pulau itu bermacam ragam adat budaya dan hokum adatnya. Berbeda
–beda karna sejarah perkembangan budayanya dari zaman Melayu Polinesia,
pergaulan hidup, tempat kediaman dan lingkungan alamnya berbeda.ada masyarakat
yang lebih banyak dipengaruhi tradisi polinesia, ada yang lebih banyak
dipengaruhi agama Hindu,Islam,dan Kristen. Dengan lahirnya Republik Indonesia
maka terwujudlah satu kesatuan cita dari berbagai masyarakat adat yang berbeda
– beda, sehingga menjadi “bhineka tunggal ika” walaupun berbeda – beda tetap
menjadi satu kesatuan dalam wadah Negara Pancasila.
Pada
dasarnya suatu adat delik itu merupakan suatu tindakan yang melanggar perasaan
keadilan dan kepatuhannya yang hidup dalam masyarakat, sehingga menyebabkan
terganggunya ketentraman serta keseimbangan masyarakat yang bersangkutan, guna
memulihkan keadaan ini maka terjadilah reaksi-reaksi adat.Ruang lingkup Delik
Adat meliputi lingkup dari hukum perdata adat, yaitu hukum pribadi, hukum harta
kekayaan, hukum keluarga dan hukum waris. Didalam setiap masyarakat pasti akan
terdapat ukuran mengenai hal apa yang baik dan apa yang buruk. Perihal apa yang
buruk atau sikap tindak yang dipandang sangat tercela itu akan mendapatkan
imbalan yang negative.
Ketentuan Delik adat
antara masyarakat adat yang satu berbeda dengan masyarakat adat yang lain.dikarenakan
perbedaan adat maka seringkali dalam menyelesaiakan konflik antar adat menjadi
berlarut larut, bahkan kadang tidak tercapai kesepakatan antara kedua pihak dan
menimbulkan ketegangan. Jika terjadi konflik seperti ini maka dalam mencari
jalan penyelesaianya bukanlah di tangani Pengadilan Agama atau Pengadilan
Negri, tetapi ditangani oleh peradilan keluarga atau kerabat yang bersendikan
kerukunan , keselarasan, dan kedamaian.
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Soepomo menyatakan
bahwa Delik Adat :
“ Segala perbuatan atau
kejadian yang sangat menggangu kekuatan batin masyarakat, segala perbuatan atau
kejadian yang mencemarkan suasana batin, yang menentang kesucian masyarakat,
merupakan delik terhadap masyarakat seluruhnya”
Selanjutnya dinyatakan
pula :
“Delik yang paling
berat ialah segala pelanggaran yang memperkosa perimbangan antara dunia lahir
dan dunia gaib, serta pelanggaran yang memperkosa dasar susunan masyarakat”.
Menurut Teer Haar :
suatu delik itu sebagai tiap-tiap gangguan
dari keseimbangan, tiap-tiap gangguan pada barang-barang materiil dan
immaterial milik hidup seorang atau kesatuan orang-orang yang menyebabkan
timbulnya suatu reaksi adat, yang dengan reaksi ini keseimbangan akan dan harus
dapat dipulihkan kembali.
Menurut
Van Vollenhoven:
Delik adat adalah sesuatu perbuatan yang tidak
diperbolehkan. (van Vollenhoven). Jadi Delik adalah suatu tindakan yang
melanggar perasaan keadilan dan kepatutan yang hidup dalam masyarakat sehingga
menimbulkan reaksi. Perkara delik adat dapat berupa murni delik adat, contoh
pelanggaran peraturan eksogami. Atau delik adat yang juga bersifat delik Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana, contoh delik terhadap harta kekayaan seseorang.
Soerojo Wignjodipoero
berpendapat :
Delik adalah suatu
tindakan yg melanggar perasaan keadilan & kepatutan yg hidup dlm masya, shg
menyebabkan terganggunya ketentraman serta keseimbangan masya ybs guna
memulihkan kembali, maka terjadi reaksi2 adat
Jadi, hukum delik adat :
keseluruhan hukum tdk tertulis yg menentukan
adanya perbuatan2 pelanggaran adat beserta segala upaya utk memulihkan kembali
keadaan keseimbangan yg terganggu oleh
perbuatan tsb
B.
Sejarah Lahirnya Delik Adat
berdasar teori beslissingen teer
(ajaran keputusan) bahwa suatu peraturan mengenai tingkah laku manusia
akan bersifat hukum manakala diputuskan & dipertahankan oleh petugas hukum
Suatu delik
lahir dengan diundangkannya suatu ancaman pidana di dalam staatsblad ( lembaran
negara ). Di dalam sistem hukum adat ( hukum tak tertulis ), lahirnya suatu
delik serupa dengan lahirnya tiap-tiap peraturan hukum tak tertulis. Tiap-tiap
peraturan hukum adat timbul, berkembang dan seterusnya lenyap dengan lahirnya
peraturan baru, sedangkan peraturan baru itu berkembang kemudian lenyap pula
begitu seterusnya.
Berdasarkan
teori beslissingen teer (ajaran keputusan) bahwa suatu peraturan
mengenai tingkah laku manusia akan bersifat hukum manakala diputuskan &
dipertahan-kan oleh petugas hukum. Karena manusia itu melakukan sebuah tindakan
yang dianggap salah, maka dibuatlah hukuman bagi orang yang melakukan tindakan
itu. Maka dari pada itulah lahirnya sebuah delik (Pelanggaran) adat adalah
bersamaan dengan lahirnya hukum adat.
Hukum delik adat bersifat tidak
statis (dinamis) artinya suatu perbuatan yang tadinya bukan delik pada suatu
waktu dapat dianggap delik oleh hakim (kepala adat) karena menentang tata
tertib masyarakat sehingga perlu ada reaksi (upaya) adat untuk memulihkan
kembali. Maka daripada itulah hukum delik adat akan timbul, seiring berkembang
dan lenyap dengan menyesuaikan diri dengan perasaan keadilan masyarakat.
jadi,
lahirnya suatu delik (pelanggaran) adat adlh bersamaan dg lahirnya hukum adat
C.
Objek Delik Adat
Obyek delik Adat adalah segala sesuatu
yang dikenai hak dan kewajiban (aturan-aturan dalam Delik Adat). Didalam bagian
ini akan dijelaskan perihal reaksi masyarakat terhadap perilaku yang dianggap menyeleweng.
Untuk hal ini, masyarakat yang diwakili oleh pemimpin-pemimpinnya, telah
menggariskan ketentuan-ketentuan tertentu didalam hukum adat, yang fungsi
utamanya, adalah sebagai berikut:
a.Merumuskan pedoman bagaiman warga masyarakat seharusnya berperilaku ,
sehingga terjadi integrasi dalam
masyarakat
b.Menetralisasikan kekuatan-kekuatan dalam masyarakat sehingga
dapatdimanfaatkan untuk mengadakan ketertiban.
c.Mengatasi persengketaan, agar keadaan semula pulih kembali
d.Merumuskan kembali pedoman-pedoman yang mengatur hubungan
antarawarga-warga masyarakat dan kelompok-kelompok apabila terjadi perubahan-perubahan.
Dengan demikian maka perilaku tertentu
akan mendapatkan reaksi tertentu pula. Apabila reaksi tersebut bersifat
negative, maka masyarakat menghendakiadanya pemulihan keadaan yang dianggap
telah rusak oleh sebab perilaku-perilaku tertentu (yang dianggap sebagai
penyelewengan)
Didalam praktek kehidupan sehari-hari,
memang sulit untuk memisahkan reaksi adat dengan koreksi, yang seringkali
dianggap sebagai tahap-tahap yang saling mengikuti.
Secara teoritis, maka reaksi merupakan suatu perilaku serta merta terhadap
perilaku tertentu, yang kemudian diikuti dengan usaha untuk memperbaiki
keadaan, yaitu koreksi yang mungkin berwujud sanksi negatif . Reaksi adat
merupakan suatu perilaku untuk memberikan, klasifikasi tertentu pada perilaku
tertentu, sedangkan koreksi merupakan usaha untuk memulihkan perimbangan antara
dunia lahir dengan gaib. Betapa sulitnya untuk memisahkan kedua tahap
tersebut, tampak, antara lain dari pernyataan Soepomo yang mencakup :
a.pennganti kerugian “imateriel” dalam pelbagai rupa seperti paksaan
menikah gadis yang telah di cemarkan
b.bayaran “uang adat” kepada orang yang terkena, yang berupa benda yang
sakti sebagai pengganti kerugian rohani.
c.Selamatan (korban) untuk membersihkan masyarakat dari segala kotoran gaib
d.Penutup malu, permintaan maaf
e.berbagai rupa hukuman badan, hingga hukuman mati
f.Pengasingan dari masyarakat serta meletakkan orang di luar tata hukum
Dengan demikian, maka baik reaksi adat maupun koreksi, terutama bertujuan untuk
memulihkan keseimbangan kosmis, yang mungkin sekali mempunyaiakibat pada warga
masyarakat yang melakukan penyelewengan.
D. Jenis jenis Delik dalam Hukum
Adat
a. Delik yang paling
berat adalah segala pelanggaran yang memperkosa perimbangan antara dunia
lahirdan dunia gaib serta segala pelanggaran yang memperkosa susunan masyarakat
b. Delik terhadap diri
sendiri, kepala adat juga masyarakat seluruhnya, karena kepala adat merupakan
penjelmaan masyarakat.
c. Delik yang
menyangkut perbuatan sihir atau tenung
d. Segala perbutan dan
kekuatan yang menggangu batin masyarakat, dan mencemarkan suasana batin
masyarakat
e. Delik yang merusak
dasar susunan masyarkat, misalnya incest
f. Delik yang menentang
kepentingan umum masyarakat dan menentang kepentingan hukum suatu golongan
famili sebagai suami.
h. Delik mengeani badan
seseorang misalnya melukai
Terjadinya Delik Adat
a.
Tata-tertib
adat dilanggar
Tata-tertib adat adalah
ketentuan-ketentuan adat yang bersifat tradisionil yang harus ditaati oleh
setiap orang dalam pergaulan hidup bermasyarakat. Seperti ketentuan yang ada didalamnya yang bersifat
adat sesungguhnya adat, adat istiadat, adat nan diadatkan dan adat nan teradat.
Dan apabila ketentuan-ketentuan adat tersebut ada yang dilanggar, maka akan
berakibat timbulnya reaksi dan koreksi dari petugas hukum adat dan masyarakat.
Hukum adat tidak mengenal system
hukum yang statis, maka hukum pidana adat pun tidak statis.Ketentuan hukum adat
dapat timbul berganti dan berkembang dengan ketentuan yang baru.
Contoh pelanggaran aturan dusun di
Sumatera Selatan yang sekarang diabaikan, misalnya Simbur Tjahaja.
“jika
halaman rumah tidak dibersihkan dengan sepatutnya maka yang empunya
Rumah dihukum denda sampai 6 ringgit”
Delik adat terjadi tidak selalu
karena petugas hukum adat melanggar ketentuan adat yang dipertahankan, tetapi
bias saja terjadi karena yang bersangkutan sendiri merasa dirugikan.
Dengan demikian delik adat akan
selalu timbul apabila masyarakat adat dan warga adatnya merasa diperlakukan
tidak adil baik oleh sesama warga adat maupun oleh pihak luar.
b.
Keseimbangan
Masyarakat Terganggu
Keseimbangan kehidupan masyarakat
dapat terganggu apabila peistiwa yang terjadi bertetangan dengan rasa keadilan
dan kesadaran hukum masyarakat menurut waktu tempat dan keadaanya. Contoh
terjadinya pelanggaran adat yang mengganggu keseimbangan kerabat sebuay
(seketurunan) atau Senuwou (seumah tangga), menurut hukum adat Lampung atau di
Sumatraa selatan misalnya sebagaaimana ketentuan berikut :
“Apabila ada kerabat yang
menurunkan martabatnya, karena anak gadisnya
Bersuamikan lelaki pembantunya atau
pembantu orang lain, maka orang tua si
Gadis dihukum denda 3 x 12 rial dan
3 ekor kerbau yang senilai harganya. (KRN. 145)”
Dengan Demikian bukan saja
perbuatan menghina pemuka adat yang hidup merupakan perbuaatan yang menganggu
keseimbangan melainkan juga perbuatan menghina Poyang asala keturunan yang
sudah dikeramaatkan merupakan perbuatan yang mengganggu keseimbangan
masyaraakat.
E.
Sifat pelanggaran Delik Adat
Alam pikiran
masyarakat itu mempertautkan antara yang nyata dan tidak nyata, antara alam
fana dan alam baka, antara kekuasaan manusia dan kekuasaan gaib, antara hukum
manusia dan hukum Tuhan. Oleh karena itu maka pada umumnya masyarakat adat
tidak banyak yang dapat berpikir rasionalistis atau liberalistis sebagaimana
cara berpikir orang barat atau orang Indonesia yang cara berpikirnya sudah
terlalu maju atau kebarat-baratan dengan menyampingkan kepribadian Indonesia.
Dalam konteks itulah maka I Made Widnyana menyebutkan
ada 5 sifat hukum pidana adat:
- Menyeluruh dan menyatukan karena dijiwai oleh oleh sifat kosmis yang saling berhubungan sehingga sehingga hukum pidana adat tidak membedakan pelanggaran yang bersifat pidana dan perdata.
- Ketentuan yang terbuka karena didasarkan atas ketidak mampuan meramal apa yang akan terjadi sehingga tidak bersifat pasti sehingga ketentuannya selalu terbuka untuk segala peristiwa atau perbuatan yang akan terjadi.
- Membedakan permasalahan dimana bila terjadi peristiwa pelanggaran yang dilihat bukan semata-mata perbuatan dan akibatnya, tetapi dilihat apa yang mejadi latar belakang dan siapa pelakunya. Oleh karena itu, dengan alam pikiran demikian maka dalam mencari penyelesaian dalam suatu peristiwa menjadi berbeda-beda.
- Peradilan dengan permintaan dimana menyelesaikan pelanggaan adat sebagian besar berdasarkan adanya permintaan ata pengaduan, adanya tuntutan atau gugatan dari pihak yang dirugikan atau diperlakukan tidak adil.
- Tindakan reaksi atau koreksi tidak hanya dapat dikenankan pada si pelaku tetapi dapat juga dikenakan pada kerabatnya atau keluarganya bahkan mungkin juga dibebankan kepada masyarakat bersangkutan untuk mengembalikan keseimbangan yang terganggu.
Sedangkan menurut Hilman Hadikusuma, alam pikiran
tradisional yang tercermin dalam sifa-sifat hukum pidana adalah sebagai
berikut:
1.
Menyeluru dan
Menyatukan. Ketentuan-ketentuan dalam hukum pidana adat bersifat menyeluruh dan
meyatukan, ole karena latar belakang yang menjiwai bersifat kosmis, dimana yang
satu dianggap bertautan dengan yang lain, maka yang satu tidak dapat
dipisah-pisahkan dengan yang lain. Hukum pidana adat tidak membedakan antara
pelanggaran yang bersifat pidana, dengan pelanggaran yang bersifat perdata.
Kesemuanya akan diperiksa dan diadili oleh hakim adat sebagai satu kesatuan
perkara yang pertimbangannya bersifat menyeluruh berdasarkan segala faktor yang
mempengaruhinya.
2.
Ketentuan yang
terbuka. Oleh karena manusia tidak akan mampu meramalkan masa yang akan datang,
maka ketentuan hukum pidana adat tidak bersifat pasti, sifat ketentuaannya
bersifat terbuka untuk semua peristiwa yang mungkin terjadi. Yang penting
dijadikan ukuran adalah rasa keadilan masyarakat. Dalam menyelesaikan peristiwa
akan selalu terbuka dan selalu dapat menerima segaa sesuatu yang baru,
karenanya akan selalu tumbuh ketentua-ketentuan yang baru.
3.
Membeda-bedakan
permasalahan. Apabila terjadi peristiwa pelanggaran maka dilihat bukan
semata-mata perbuata dan akibatnya, tetapi juga apa yang menjadi latar belakang
dan siapa pelakunya. Dengan alam pemikiran demikian, maka dalam cara mencari
penyelesaian dan melakukan tindakan hukum terhadap suatu peristiwa menjadi
berbeda-beda.
4.
Peradilan dengan
permintaan. Untuk memeriksa dan menyelesaikan perkara peanggaran, sebagian
besar didasarkan pada adanya permintaan atau pengaduan, adanya gugatan atau
tuntutan dari pihak yag dirugikan atau diperlakukan tidak adil kecuali dalam
hal yang langsung merugikan dan menggangu keseimbangan masyarkat yang tidak
dapat diselesaikan dalam batas wewenang kekerabatan.
5.
Tindakan reaksi atau
koreksi. Dalam hal melakukan tindakan reaksi atau koreksi dalam menyelesaikan
peristiwa yang mengganggu keseimbangan masyarakat, petugas hukum tidak saja
dapat bertindak terhadap pelakunya, tetapi juga terhadap keluarga atau kerabat
pelaku itu, atau mungkin diperlukan mebebankan kewajiban untuk mengembalikan
keseimbangan.
6.
Tidak Prae-Existente.
Hukum pidana adat tidak menganut sistem pra existente regel, artinya tidak
menganut asa legalitas dalam arti perbuatan pidana dalam ukum pidana adat tidak
ditentukan terlebih dahulu sebagai suatu tindak pidana dalam suatu
perundang-undangan tertulis, tetapi ditentukan begitu ada perbuatan yang
mengganggu keseimbangan dalam masyarakat.
Pengertian
Pelanggaran Adat(adat delichten recht)
Van Vollenhoven
: “ “..Perbuatan yang tidak boleh dilakukan walaupun pada
kenyataannya.peristiwa tersebut hanya berupa kesalahan kecil(dimaklumi)..”
Ter Haar :
“..setiap gangguan dari
suatu pihak terhadap keseimbangan, dimana.setiap pelanggaran itu dari suatu
pihak atau dari kelompok orangsberwujud maupun tak berwujud, berakibat
menimbulkan suatu reaksiiadat sehingga keseimbangan dalam kehidupan (manusia
maupun yang ghaib) harus dipulihkan kembali.
Sanksi : dapat berupa hukuman
yang diberikan dalam upacara adat, sehingga ada yg dikenal dengan “ hukuman
pasung, arak-arakan, sesajean, ruwat desa/bersih desa, dst,..”
Secara
umum sifat Delik Adat juga bisa di klasifikasikan berikut :
1. Tradisional magis
& religius
Perbuatan
yang tidak boleh dilakukan dan mengganggu keseimbangan masyarakat yang bersifat
turun-temurun dan dikaitkan dengan dengan keyakinan dan kepercayaan, tidak saja
dianggap mengganggu keseimbangan kosmis (alam, manusia, makhluk lain) melainkan
juga akibat buruk dari yang ghaib.akibat buruk dari yang ghai
b.Peristiwa
pelanggaran adat itu menurut alam pikiran yang tradisional yanggbersifat kosmis
yang menempatkan kehidupan manusia itu berkaitan dengan alam, makhluk lain,
yang diagungkan (tuhan/dewa).dengan alam, makhluk lain, yang diagungkan (t
)Misalnya
::anak patuh pada kehendak orang tua Adik tidak boleh mendahului kakaknya
menikah Lelaki dan wanita dilarang berzina Upacara adat sebelum panen
padi,..dstUpacara adat sebelum panen padi,..dst
2. Menyeluruh dan
Menyatukan
Menyeluruh & menyatukan artinya tidak
memisah-misah antara pelanggaran bersifat pidana (publik) ataupun perdata
(privat), begitu juga tidak dibedakan apakah perbuatan kesalahan tersebut
termasuk kesengajaan atau kelalaian, tidak juga membedakan antara pelaku(dader),
kesemuanya disatukan sebagai suatu rangkaian peristiwa yang mengganggu
keseimbangan dan keseluruhannya dijadikan satu dalam penyelesaiannya di
peradilan adat.s
Note : Pembagian Pelaku dalam pidana, yaitu :Pembagian
Pelaku dalam pidana, yaitu :
1. Pelaku Utama (plichetiger,dader),Pelaku Utama
(plichetiger,dader),
2.Turut Melakukan (mededader)Turut Melakukan
(mededader)
3.Membantu
Melakukan (medeplichtiger)Membantu Melakukan
(medeplichtiger)
4.Penggas/penghasut (uitloker)Penggas/penghasut (uitloker)
3. Non Pra-Existente
Artinya, apakah ada peraturan yang telah
ditetapkan dahulu ataukah belum ada aturannya, apabila akibat perbuatan
itu menggangu keseimbangan masyarakat, maka pelaku perbuatan pelanggaran adat
tersebut dapat di hukum. Dengan kata kali, sifat Non Pra Existente tidak
seperti adagium Montesquieu yang dianut oleh hukum pidana sebagaimana diatur
dalam Pasal 1 KUHPidana (WvS), S.1951-732, yaitu “ Nullum delicum nulla poena
sine praevia lege poenali (tiada suatu delik melainkan atas kekuatan aturan
pidana di dalam undang-undang yang telah ada lebih dahulu dari perbuatan
”)
terjemaha bebas ::Tiada suatu perbuatan (delik) yang
dapat dihukum apabila tidak adaaperaturan yang mengatur mengenai perbuatan itu.
peraturan Tidak men-sama rata-kan Jenis dan sifat sanksi Terhadap pelaku
pelanggaran adat berbeda-beda, hal ini didasarkan pada struktur statusnya dalam
masyarakat adat.
Contoh : Pelaku yang mempunyai kedudukan
strata,,pengetahuan,kesolehan, akan memperoleh sanksi yang lebih berat dibandingkan
dengan orang biasa.dibandingkan dengan Note :Note :Berbeda dengan sanksi
mensamaratakan yang dianut dalam KUHPidana maupun KUHPerdata barat.
Hukum Adat = Keadilan Proporsional
Hukum Barat = Keadilan “Seimbang” Hukum
4. Terbuka & Lentur ( fleksible / dinamis )
Hukum adat tidak menolak perubahan dan
perkembanngannmasyarakatnya dimana aturan adat itu berlaku, asalkan tidak
bertentangan dengan nilai dan norma yang hidup dalam komunitas adat
tersebut.adat tersebut
.Contoh : Dahulu Warna Merah pada pakaian adat Toraja hanya
untuk keluargaaraja-raja.
Dahulu tarian adat hanya bagi kalangan bangsawan,
sekarang dapat diadakan siapapun. Dalam “simbur tjahaja” yang berlaku di
Sum-Sel, bila lelaki dan perempuan yang telah baligh mandi telanjang bersama
tanpa memakai petalasan (main mandi) maka ia dihukum denda 12 ringgit. namun
saat ini hanya berupa teguran atau dianggap gila.
5. Terjadinya
Pelanggaran Adat
Artinya, pelanggaran adat
terjadi bila tata tertib adat tsetempat dilanggar atau karena suatu pihak
merasasdirugikan sehingga keseimbangan masyarakat terganggu.d
Jika pelanggaran adat terjadi, namun keseimbangan masyarakat setempat
t tidak terganggu, maka perbuatan tersebut tergolong pelanggaran adat yang
tidak t mempunyai akibat hukum, sehingga pelaku pelanggaran cukup diperingatkan agar tidak
berbuat lagi.
6. Pelanggaran Adat =
Delik Aduan
Untuk menyelesaikan tuntutan dari
pihak yang merasa dirugikan harus ada pengaduan,,berupa pemberitahuan dan
permintaan untuk diselesaikan kepada kepala adat..Tanpa adanya pengaduan,
pemeriksaan tuntutan tidak dilakukan.
7. Reaksi dan Koreksi
Ketika terjadi pelanggaran
adat, pertanggung jawaban kesalahan bukan hanya dapat dikenakan kepada pribadi pelaku saja, melainkan juga
keluarga dan/atau masyarakat-kepala adatnya.
Contoh :
-Paksaan menikah
bagi gadis yang telah cemar kehormatan nya.
-Mengadakan
selamatan, qurban untuk membersihkan lingkungan/tempat
tertentu dari pengaruh ghaib.
-Diasingkan/dibuang
dari kelompok masyarakat dalam jangka
waktu tertentu
8. Pertanggungjawaban
kesalahan
Dalam hukum barat yang menjadi pokok sanksi atas
pelanggaran (delik) yaitu:(delik) yaitu :
a. Perbuatan itu terbukti kesalahannya dan dapat
dihukum (strafbaarfeit) ;(strafbaarfeit) ;
b.Pelakunyatmempertanggungjawabkannya.mempertanggungjawabkannya
. “ “SANKSI ATAS PERBUATAN” SANKSI ATAS
PERBUATAN” Sedangkan dalam hukum pelanggaran adat, yang menjadi pokok
sanksi ialah :
a.bagaimana solusi akibat dari perbuatan pelanggaran
adat itu,,sehingga hukum adat tidak mengenal perbedaan sanksi antara
kesengajaan ataupun kelalaian seperti hukum barat.kesengajaan ataupun kelalaian
seperti hukum barat.
b.Siapa yang harus bertanggung jawab atas akibat
itu.Siapa yang harus bertanggung jawab atas akibat itu. “ “SANKSI
ATAS AKIBAT”
9. Tempat
Berlakunya
Keberlakuan hukum pelanggaran adat terbatas pada
lingkungan masyarakat adat tertentu (tidak menyeluruh
sama). “ “Lain Padang Lain Ilalang, Lain Lubuk Lain Ikannya”
“ “Lain masyarakat adat lain pula delik
adatnya dan lain pula cara penyelesaiannya”.
F.
Aliran aliran dalam hukum Adat
1. Aliran Pikiran Tradisonal
1. Aliran pikiran barat, terutama
yang bersifat liberalis, bercorak rasonalis dan intelektual. Menurut aliran
pikiran itu, maka agama, ekonomi, kesenian, olah raga dan sebagainya.
Mempunya lapangan yang sendiri sendiri yang satu terlapas dengan yang lainya.
2. Alam Pikiran Tradisonal indonesia
(Timur) bersifat kosmis, meliputi segalanya sebagai kesatuan (totaliter). Umat
manusia adalah sebagian dari alam semesta ; tidak ada pemisahan dari berbagai
macam lapangan hidup ; tidak ada pemisan antara dunia lahir dan dunia ghaib
serta tidak ada pemisan antara manusia dengan makluk lainya dimuka bumi ini.
Segala sesuatunya bercampur-baur, bersangkut-paut, jalin-menjalin, dan segala
sesuatu pengaruhi-mempengaruhi. Dan manusia bertalian dengan segala sesuatau
yang bereksistensi didalam alam semseta.
3. Perbedaan besar antara aliran
pikiran Barat yang berasaskan liberalisme dan aliran pikiran tradisonal
indonesia, mengenai kedudukan orang di dalam masyarakat.
a. Menrut
Aliran Liberalis, tiap-tiap individu merupakan pusat kepentingan hukum,
sehingga nyawanya, kemerdekaanya dan harta bendanya harus dilindung
sbaik-baiknya oleh negara.
b. Bagi dunia Indonesia segala pokok
pelanggaran hukum adalah individu saja, malinkan masyarakat persekutuan;
dan penting tidaknya orang seorang tergantung kepada funsiya didalam
persekutuan.
4. Organisasi masyarakat
tradisonal di tujukan kepda peliharaan keseimbangan tersebut di atas,
merintangi jalan oragnisasi masyarkat merupakn pelanggran hukum yang berat,
sedangkan pelangran-pelangaran hukum hanya merugikan kepentingan orang
perseorangan sema tidak menggangu jalanya organisasi lain yang hidup di dalm
masyarakat.
2. Perbedaan Pokok Aliran
Van Vollenhoven melukiskan perbedan pokok aliran antara sistem hukum pidana
menurut KUHP dan sistem hukum delik adat HDA sebagai berikut:
a. Yang Dapat dipidana
1.
KUHP
Yang dapat dipidana hanya badan
pribadi (person) yang berupa manusia /orang.
2.
HDA
Sering terjadi bahwa
sipenjahat melakukan delik yang dilakukan disuatu tempat atau kampung, hukuman
yang dikenakan adalah wajib membayar denda atau ganti rugi kepada golangan
krabat korban.
b. Dolus Dan Culpa
1.
KUHP
Seorang hanya dapat dipidana
apabila perbuatan dilakukan dengan sengaja(opzet,dolus) ataupun dalam
kelalaian, kekilafan,(culpa)
2.
HDA
Dilapangan hukum adat lebih
banyak terdapat kejadian-kejadian yang tidak memerlukan Pembuktian tetang
adanya kesengajaan ataupun kelalaian dari kejahatan dilapangan.
c.
Kepentinagn Yang Dilanggar
1.
KUHP
Tiap delik menatang
kepentingan negara, sehingga setiap delik adalah persoalan negara, bukanlah
persoalan perseorangan atau pribadi yang terkena.
2.
HDA
Ada delik terutama menjadi
persoalan orang yang terkena, sekali juga menjadi persoalan golongan krabat
orang terkena dan pula mengenai kepentingan desa.
d. Pertanggung jawaban
1.
KUHP
Orang yang dapat dipidana
dapat bertanggung jawab atas perbuatanya.
2.
HDA
Didalam leteratur Hukum adat
terdapat pemberintaan dari wilayah minang kabau bahwa disana upaya pertahanan
masyarakat terhadap oarang gila yang membunuh orang adalah sama dengan upaya
terhadap orang normal yang melakukan tindakan yang serupa.
e.
Posisi Sosial
1.
KUHP
Hukum pidana barat
memperlakukan orang yang satu sma dengan yang lain, tampa diskriminasi.
2.
HDA
Besar kecilnya kepentingan
hukuman seseorang sebagai individu bergntung pada kedudukan/fungsinya didalam
masyarkat.
f.
Menghakimi sendiri
1.
KUHP
Orang dilarang bertindak
sendiri untuk menegakan hukum yang dilanggar, larangan ini berdasarkan prinsip
bahwa delik adalah persolan negara, bukan persoalan orang persorangan
(pribadi).
2.
HDA
Didalam sitem hukum adat
terdapat keadan yang mengizinkan kan orang terkena untuk bertindak sebagai
hakim sendiri, misalnya bila seseorang melarikan gadis, bezina, mencuri dan
perbuatan itu tertangkap tangan sedangkan pelaku di pegang oleh pihak yang
terkena, pada saat itu boleh malukan Hakim sendiri.
g. Penilaian Barang
1.
KUHP
Didalam Hukum Pidana
barat tidak ada perbedaan barang anatara satu dengan yang lain, sehingga
mencuri setangkai bunga sama berat hukmannya dengan mencuri sebutir
Mutiara.
2. HDA
Mencuri, Menggelapkan atau
merusak barang asal dari nenek moyang adalah lebih berat dari pada tindakan
serupa dari barang duniawi biasa
G. Kekuatan
Materiil Delik Adat
Hukum
adat tidak dapat dipisahkan dari hukum positif yang berlaku di Indonesia.
Disamping sifat kearifan yang hanya berlaku lokal, sifat keadilan, kemanfaatan,
dan kepastian hukumnya tidak terukur, maka tetap diperlukan landasan hukum yang
bersifat nasional karena hukum nasional (terutama yang sekuler) dapat menengahi
maksud yang mendesakkan golongan tertentu.
Berdasarkan
hal tersebut, kita perlu mengaji keberlakukan materiil hukum adat dalam UU
nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman .
Pasal
5 (1):
“Hakim dan hakim konstitusi
wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan
yang hidup dalam masyarakat.”
Pasal 10 (1)
“Pengadilan
dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang
diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib
untuk memeriksa dan mengadilinya.”
Pasal 50 (1)
“Putusan
pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan, juga memuat pasal
tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum
tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili.”
Ada
kalanya hakim tidak menemukan dasar hukum yang eksplisit mengenai suatu kasus,
maka hakim dan hakim konstitusi harus menafsirkan dasar hukum tersebut. Namun
tidak setiap tafsiran hukum dapat memiliki kekuatan mengikat karena tidak
memenuhi syarat sosiologis maka hakim harus menggali, mengikuti, dan memahami
nilai hukum yang ada dalam masyarakat.
Selain meninjau
dari hukum positif, perlu juga kita tinjau dari konsep KUHP baru. Dalam
menetapkan sumber hukum atau dasar patut dipidananya suatu perbuatan, konsep
KUHP Baru bertolak dari pendirian bahwa sumber hukum yang utama adalah
undang-undang (hukum tertulis). Jadi bertolak dari asas legalitas dalam
pengertian yang formal. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 145 ayat (1) Konsep.
Namun berbeda dengan asas legalitas yang dirumuskan di dalam KUHP (WvS) selama
ini, konsep memperluas perumusannya
secara materiil dengan menegaskan bahwa ketentuan dalam Pasal 1 ayat (1) itu
tidak mengurangi berlakunya "hukum yang hidup" di dalam masyarakat. Lagipula menurut Thomas Stamford Raffles
(dalam Rato, 2011:29) , jika hukum Eropa
mengutamakan sanksi, maka hukum adat lebih mengutamakan konsekuensi hukum.
Perbedaannya adalah jika sanksi wajib diputuskan oleh hakim dan diterapkan
setelah mendapat putusan in kracht,
konsekuensi tidak memerlukan putusan hakim dan tidak memerlukan putusan in kracht.
Menurut Trisno
Raharjo, budaya musyawarah, sebagai sistem nilai yang dihayati oleh
masyarakat Indonesia, merupakan semangat untuk masing-masing pihak yang
berunding di dalam musyawarah tersebut untuk menyelesaikan konflik misalnya,
akan berupaya mengurangi pendiriannya sehingga dapat dicapai titik temu yang
menguntungkan bagi semua pihak, yang berujung pada mufakat. Suatu musyawarah
memerlukan tokoh yang dihormati untuk memimpin musyawarah dapat mencapai
mufakat tersebut. Apa yang diputuskan dalam musyawarah guna menyelesaikan
konflik tersebut secara perlahan-lahan berkembang menjadi hukum adat.
Suryono Sukanto (dalam Raharjo, 2010: 6) menyatakan “hukum adat yang masih
berlaku merupakan bagian dari hukum yang hidup ... hukum yang hidup merupakan
bagian dari hukum nasional dan menjadi tujuan untuk dicapai, karena hukum yang
hidup berlaku secara yuridis, sosiologis maupun filosofis. Karena menurut Abdul Ghofur Anshori (dalam Julianto,
2013: 6) sampai saat ini masyarakat tidak percaya hukum nasional sebagai solusi
permasalahan di sekitarnya. Jika krisis kepercayaan ini berlanjut dan tidak
didukung hukum adat yang ada, pengadilan rakyat atau eigenrechting menurut Sudikno
Mertokusumo menjadi sebuah jawaban bagi masyarakat.
Dengan
demikian, disamping sumber hukum tertulis (UU) sebagai kriteria formal yang
utama juga masih memberi tempat kepada sumber hukum tidak tertulis yang hidup
didalam masyarakat sebagai dasar menetapkan patut dipidananya suatu perbuatan.
Berlakunya hukum yang hidup di dalam masyarakat itu hanya untuk delik-delik
yang tidak ada bandingnya (persamaannya) atau tidak telah diatur di dalam
undang-undang.
4. Petugas hukum untuk
perkara adat
Menurut Undang-Undang
Darurat No. 1/1951 yang mempertahankan ketentuan-ketentuan dalam Ordonansi
tanggal 9 Maret 1935 Ataatblad No. 102 tahun 1955, Statblad No. 102/1945 maka
hakim perdamaian desa diakui berwenang memeriksa segala perkara adat, termasuk
juga perkara delik adat.
Didalam kenyataan
sekarang ini, hakim perdamaian desa biasanya memeriksa delik adat yang tidak
juga sekaligus delik menurut KUH Pidana.
Delik-delik adat yang
juga merupakan delik menurut KUH Pidana, rakyat desa lambat laun telah menerima
dan menganmgap sebagai sutu yang wajar bila yang bersalah itu diadili serta
dijatuhi hukuman oleh hakim pengadilan Negeri dengan pidana yang ditentukan
oleh KUH Pidana.
PENUTUP
Ucapan terimakasih kami
panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan rahmmat dan hidayahnya
sehingga kami bisa menyusun makalah ini, dan terimakasih kepada bu Dosen
Ahdiana selaku Dosen Pengampu kami yang telah mendukung penyusunan Makalah ini
serta ucapan terimakasih kepada teman – teman yang telah membantu dalam
penyusunan makalah ini, kami minta maaf apabila dalam Makalah ini masih
teedapat banyak kekurangan, semoga makalah ini bisa bermanfaat, dan digunakan
sebagaimana mestinya.
DAFTAR
PUSTAKA
·
Undang-Undang 48
Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. (2009). Jakarta: Kementerian Hukum
dan HAM.
·
Julianto, A. A. (2013). Rangkuman Materi Kuliah Semester 1
Seri 005. Yogyakarta: Mandiri.
·
Mertokusumo, S. (1991). Mengenal Hukum (Suatu Pengantar).
Yogyakarta: Liberty.
·
Raharjo, T. (2010). Jurnal Hukum No. 3 Vol. 17. Mediasi
Pidana dalam Ketentuan Hukum Pidana Adat.
·
Rato, D. (2011). Hukum Adat (Suatu Pengantar Singkat
Memahami Hukum Adat di Indonesia). Yogyakarta: LaksBang PRESSindo.
·
Van
Dijk, R, Prof,Dr, 1982, Pengantar Hukum Adat Indonesia, Bandung,Sumur Bandung.
·
Widnjodipoero, Soerojo, S.H., 1987, Pengantar dan Asas-Asas HukumAdat,
Jakarta, Haji Masagung.
·
·Soepomo, R, Prof, Dr, S.H., 1966, Bab-Bab Tentang Hukum Adat,Jakarta,
Universitas.
·
Ima Sudiyat
Hukum Adat, Sketsa Asas,penerbit Leberti, Yogyakarta,hal 174-182
·
Heri
Wibowo,2012,Dunia Hukum,Delik Adat, google.com
·
Prof.HI.Hilman
Hadi Kusuma,SH.Sumber delik adat,hokum pidana adat.